“Saala saailum bi’adzaabiw waa qi’. Lil kaafiriina laisa lahuu daa fi’. Minallaahi dzil ma’aarij.”
Lantunan murottal Ustadz Abu Usamah yang empuk dan enak didengar. Tartil dalam langgam Jiharkah. Tiap kali mendengar selalu berhasil menerbitkan kesyahduan dan kerinduan.

Surat ini saya hafalkan kala berumroh dengan cara mendengarkan murottal lewat head set. Meski dihafalkan saat sedang di masjid Nabawi Madinah atau di Masjidil Haram Mekah, namun tiap kali mendengar murottal ini, suasana sejuk masjid Nabawilah yang tergambar dalam benak.
Maka bersabarlah engkau (Muhammad) dengan kesabaran yang baik.
Pilar-pilar besar berdiri kokoh menyangga. Bagian atas masjid bernuansa warna emas dengan selingan hitam. Langit-langit dengan kaligrafi bercorak emas. Lantai berkarpet merah dengan aroma wangi khas. Seiring suasana hati yang entah bagaimana menggambarkannya. Terbayang saat-saat menghafal di sana. Menitik air mata haru kala ikut membacanya. Syahdu, dan … tiba-tiba diri ini sudah larut dalam rindu yang membuncah. Semoga Allah izinkan untuk kembali ke sana, segera.
“Fashbir shobron jamiilaa… saya pun lanjut ke ayat berikutnya.
Leave a Reply