Pernahkah Anda merasakan patah hati? Ada curhat nih dari seorang teman yang saya sendiri bingung musti kasih saran apa.
“Pacar saya sekarang berdomisili di kota yang mengingatkan saya pada kesedihan. Juga sikapnya yang monoton membuat saya sering tidak bersemangat lagi. Saya harus memutuskan apakah saya akan menikah dengannya dan mendampinginya dengan resiko semangat hidup saya biasa-biasa saja. Tiba-tiba di lain kota saya dipertemukan dengan seseorang yang begitu mempesona.. pacar ideal impian saya. Dengannya saya merasa “exciting”, hidup tiba-tiba lebih berwarna. Namun…… badai Katrina datang, keluarga besar saya tidak merestui hubungan baru saya. Mereka mengatasnamakan kesetiaan dan masa depan saya (pacar saya sekarang lebih kaya siih… he..he.., juga sebenarnya dia sangat baik). Juga keberkahan hidup saya. Karena kalau pacar sekarang saya tinggalkan, dia mungkin akan memendam benci seumur hidup pada saya.”
Kalau Anda jadi dia, apa yang Anda lakukan? Tetap menikah dengan pacar sekarang atau menjajagi kehidupan dengan pacar baru. Menikah dengan pacar sekarang dengan suasana hati yang biasa-biasa saja atau menjalin hubungan dengan pacar baru dengan hati riang dan bersemangat namun rizki mungkin tidak berkah.
Ada nasihat yang bisa bikin adem n nyess, dari sahabat saya, Pak Haji Makasar, ‘hati yang patah’ dilas pake kawat ‘syukur’ dan tenaga api ‘kesabaran’ agar dihasilkan hati yang kembali tersambung dengan ‘keyakinan rencana Allah akan lebih indah dari yang kita bayangkan atau kita rencanakan’.
Bagus sekali nasehat dari Pak Haji. Beruntung sekali, moment kegundahan hati terbit sebelum payung pernikahan terbentang. Mungkin tidak ya…patah hatinya terjadi setelah pernikahan, baik pada isteri sendiri…atau mungkin pada orang lain (??). Terlebih lagi setelah lama menikah,seseorang baru menyadari ada sesuatu yang missing dari pasangannya, dan menemukan yang hilang itu pada orang lain. Walaupun tanpa harus “take over” dalam arti luas, tanpa harus berpisah ? Mungkinkah bisa mencintai seseorang tanpa ingin memilikinya? Sebab cinta tanpa syarat idealnya hanya mungkin dimiliki oleh seorang ibu untuk anak-anaknya.
Kebetulan saya mempunyai seorang sahabat (wanita), andaikan dia hadir sebelum saya menikah…mungkin ceritanya akan lain. Namun kembali ” pilihan ” yang harus saya tentukan. Jadi saya pikir ada Grade lain dibawah “mencintai”..”mengasihi” mungkin lebih tepat dalam koridor persahabat yang “sehat & benar”. Yang saya rasakan adalah suatu kebebasan merasakan, kebebasan memberi dan menerima, tanpa mengukur maupun mengurangi kapasitas mengasihi yang ada pada diri kami masing-masing. Rasanya begitu penuh, kaya, tanpa ketakutan akan kehilangan. Kami memberi tanpa berharap, dan menerima tanpa berhutang…..