Telpon yang saya terima pagi ini dari seorang teman di Cilacap, masih pagi.. belum genap jarum jam menunjuk 05.30, membuat hati kecil saya terharu. Bagaimana tidak.. Beliau meminta maaf dan berpamitan akan berangkat menunaikan ibadah haji di tanah suci bersama suami dan mertua.
Sontak meluncur kalimat dari bibir saya,” Ya Mbak… Mbak gak ada salah kok sama saya. Semoga diberi kekuatan dan keikhlasan dalam beribadah di sana dan nantinya menjadi haji yang mabrur.”
Sosok beliau yang sederhana n gak neko-neko menggugah motivasi saya, mengingatkan saya bahwa keinginan saja tidaklah diridhoi Allah tanpa kita berusaha. Terlintas kenangan saat saya di Cilacap, mengkoordinir tabungan teman-teman, yach.. kecil-kecilan sih untuk bisa n mampu berkurban saat Idul Adha. Waktu itupun terlintas mestinya bila kita berniat haji, juga melakukan hal yang sama. Hanya niat dan keinginan dalam hati, disertai doa yang mungkin hanya sekedar basa-basi, namun tanpa usaha untuk mewujudkannya, akankah Allah melihat kesungguhan hati kita? Meskipun memang bisa tidaknya kita berangkat haji juga atas kuasa dan kehendak-Nya.
Mestinya keinginan saya agar bisa berangkat ke tanah suci before 40 (he..he.. sebelum 40 tahun) diiringi dengan usaha dan kesungguhan saya mewujudkannya. Namun.. mengapa saya sekarang justru terkapar dalam segudang tanya akibat perginya buah hati tercinta? Harusnya saya kembali bangkit n berkata, “Aku pasti bisa…, Insya Allah tentunya.”
Leave a Reply