Syawal 1434H adalah waktu yang kami pilih untuk memberitahukan kado umroh untuk kedua ibu. Sengaja memilih jadwal di akhir tahun 2013 karena Mekah Madinah sedang musim dingin, sehingga akan lebih nyaman bagi ibu dan ibu mertua.
Tiga bulan menjelang berangkat, saya menyarankan agar kedua ibu mulai berolah raga ringan. Jalan kaki. Karena akan dibutuhkan stamina fisik dalam melaksanakan thowaf dan sa’i di sana nanti. Usia para ibu yang sudah sepuh membuat saya pun harus berjaga-jaga. Karena pada dasarnya kondisi fisik saya pun kadang-kadang tidak bisa ditebak. Ibu mertua saat berangkat berusia 71 tahun sedangkan ibu saya 66 tahun. Bahkan untuk ibu mertua, sudah memesan juga kursi roda apabila diperlukan saat ibadah thowaf dan sa’i nanti.
Untuk thawaf, kalau beruntung bisa dekat di pelataran Ka’bah, jarak tempuh satu putaran hanya 100 meter. Jaraknya bervariasi karena tergantung kita bisa dekat ke Ka’bah nggak. Biasanya sih di putaran awal kita dari luar memutar lalu mulai masuk ke dalam mendekat Ka’bah jadi diameter tempuh lebih pendek. Anggap saja deh perkiraan 7 kali putaran sekitar 1-2 kilometer.
Saat sa’i, jarak satu kali jalan antara bukit Shofa dan Marwah sekitar 400 meter, satu putaran jadi kalau bolak balik sebanyak tujuh kali jarak tempuhnya menjadi 5,6 kilometer.
Allaahu Akbar.. setelah di tanah suci, ternyata kedua ibu saya, terutama ibu mertua yang sebelumnya diperkirakan ada sedikit hambatan, malah lancar dan berenergi. Bayangkan.. umroh saat pertama baru datang itu kami bahkan belum sempat beristirahat cukup, antara waktu tengah malam hingga dini hari. Ibu mertua mantap tidak mau menggunakan kursi roda. Selain yakin Insya Allah diberi kekuatan, juga ternyata rute untuk yang menggunakan kursi roda berbeda dengan yang normal. Untuk yang memakai kursi roda ada di lantai dua, jarak tempuhnya otomatis jadi lebih jauh. Thowaf alhamdulillaah lancar…
Berlanjut ke sa’i. Jarak lebih jauh dan ada area naik turun. Maklum Shofa Marwah ini kan bukit.
Saya saja kerasa bangeeet deh. Ketahuan deh kalau jarang jalan kaki, hehe… Pinggang dan betis rasanya nikmat sekali. Yang membuat saya takjub adalah, ibu mertua saya sanggup menyelesaikan semua ibadah dengan lancar.
Meski saat kembali ke hotel beliau langsung mendamparkan diri ke kasur dan minta digosokin punggung bawah, namun alhamdulillaah dan suatu keajaiban.
Saya melihat energi ibu seperti habis di-charge. Memang sih saat itu kami jadi tidak shalat Dhuhur di Masjidil Haram karena saya kasihan dan jaga kondisi kedua ibu.
Subhanallaah sebuah karunia terpampang nyata, selama di tanah suci, energi kedua ibu saya seperti tiada habisnya. Mau ibadah hayuuuk… bolak balik ke masjid shalat jamaah. Mau ziarah dan jalan-jalan pun oke. Maha Besar Allah yang sudah memberi kami banyak kemudahan.
Leave a Reply