April 7 tahun lalu, tersentak hati membaca email di satu milis yang saya ikuti. Seorang ibu muda, meminta dukungan doa dan saran untuk sakit yang diderita putra kecilnya. Ajunk, 2 tahun 4 bulan, putra kecilnya, dari hasil scan kepala diketahui menderita tumor. Akibatnya cairan di otak tidak terdistribusikan dengan baik. Cairan otak menumpuk 40% lebih banyak dari kapasitas normal. Kondisi Ajunk drop, muntah hebat dan kesadaran berkurang.
Dokter spesialis bedah syaraf sudah melakukan tindakan tahap pertama, memasang selang dari kepala untuk mengalirkan cairan ke tubuh. Sesudah nanti kondisinya stabil, cairan kembali terdistribusikan dengan normal akan dilakukan operasi tahap kedua yaitu pengangkatan tumornya. Saat email ditulis, Ajunk sudah keluar ruang operasi, matanya bersinar kembali dan dirawat di ICU.
Rasa kehilangan Kakak, anak pertama saya, dua tahun sebelumnya karena sakit yang sama, membuat jari saya bergerak cepat mengirim email perkenalan pada Mbak Dian, begitu saya memanggilnya. Saya tak sanggup membayangkan suasana batin Dian saat menulis email itu. Ajunk…sekecil itu musti mengalami operasi besar di kepalanya?
Antara pasrah dan ikhtiar, Dian tidak kehilangan harapan kesembuhan Ajunk. Pengalaman merawat Kakak dulu, membuat saya merasa tidak rela kalau Dian kehilangan Ajunk. Hitungan detik teramat sangat berharga untuk dilewatkan bagi anak yang sudah terdeteksi menderita tumor otak, jenis craniopharyngioma.
Sejak itu, pertemanan berlanjut via email, sesekali telpon yang sering membuat mata saya sembab sesudahnya. Saya dan Dian, antara Gresik dan Jakarta bertemu via dunia maya, namun Ajunk mendekatkan hati kami.
Semangat Dian selalu membuat saya haru. Tidak ada kalimat negatif terucap. Yang ada hanyalah bagaimana mengusahakan dan menyiapkan dana dan HATI demi kesembuhan bahkan mukjizat bagi si kecilnya.
Operasi kedua Ajunk di usia 2 tahunnya adalah pengangkatan tumornya. Dian tetap cekatan di antara tanggung jawabnya di pekerjaan, mengurus rumah tangga, Naya kakak Ajunk dan Ajunk yang memerlukan banyak perhatian pasca operasi. Dian berhasil melalui semuanya.
Beberapa bulan kemudian kami jumpa darat, saat saya ada seminar di Jakarta. Bertemu Dian yang manis, Naya kakak Ajunk dan Ajunk.
“Budhe…, “ begitu Ajunk memanggil saya. Tatap mata dan tingkahnya tetap ceria seperti layaknya anak seusianya. Pertemuan itu meyakinkan saya bahwa Dian adalah sosok yang tegar dan semangat di balik kelembutannya.
Setahun berikutnya ternyata tumor tumbuh lagi. Butuh suasana hati tersendiri bagi Dian, tiap 6 bulan sekali kontrol melakukan CT Scan untuk Ajunk. Di usia 5 tahun, Ajunk sempat terapi menggunakan alat dr Warsito, ahli tomografi.
Usia 6 tahun menjalani operasi gamma knife dan 6 bulan sesudahnya hasil MRI menunjukkan ukuran tumor mengecil. Sungguh suatu anugerah dan mukjizat.
Namun ternyata operasi besar dengan posisi tumor di kepala bagian tengah itu mempengaruhi hormon pertumbuhan yang membuat Ajunk harus menjalani terapi suntik hormon. Pilihannya serba sulit, karena terapi hormon untuk menormalkan pertumbuhan badan Ajunk berefek samping membuat tumor menjadi besar. Saat itu tinggi badan Ajunk adalah 94 cm bone age usia anak 2 tahun.
Yang saya ingat saat itu Dian sangat bersemangat meminta bantuan saya menuliskan email berbahasa Inggris untuk Lionel Messi pemain bola Argentina yang ternyata pernah mengalami growth hormone deficiency di masa kecilnya.
Selain hormon pertumbuhan, operasi menyebabkan mata kiri Ajunk sudah tidak bisa melihat sama sekali, sedangkan mata kanan baik dengan silindris 1.25.
Tantangan berat kembali dialami Dian saat Ajunk mulai sekolah. Dengan kondisi Ajunk yang terlihat “beda” dengan teman-temannya kerap menimbulkan banyak pertanyaan bahkan cemoohan. Namun Dian sadar untuk menyiapkan hatinya menjadi seluas samudera.
Dian sadar kalau dia lemah dan menangis di hadapan Ajunk, maka Ajunk akan sedih dan kehilangan semangat. Ajunk yang ceria dan tetap semangat menguatkan hati Dian untuk menghadapi hari-hari selanjutnya bersama Ajunk.
Dian selain masih bekerja di sebuah perusahaan swasta juga membuka bisnis sewa peralatan ASI dan bisnis laundry di rumahnya. Kalau ditanya, faktor kepepetlah yang membuat Dian membuka bisnis dibantu suami. Tidak ada karyawan selain 1 orang membantu di laundry. Untuk bisnis sewa peralatan ASI mulai promosi, booking, mencuci dan mensterilkan dilakukan Dian sepulang kerja.
Semangatnya tak kunjung padam, apalagi sekarang buah hatinya bertambah. Dalam komunikasi terbaru kami, Dian menulis,” Ajunk banyak memberikan pelajaran, dia penuh kekurangan tapi tetap ceria…
Dia gak mau orang-orang kasihan sama dia. Anaknya mandiri…Nggak ada alasan buat saya bersedih..
Ingat dulu Budhe pernah bilang (aiiih…bahkan masih ingat ucapan 7 tahun lalu), kita harus rasional.. kalau saya terus sedih, Ajunk nggak akan tertolong dan gak akan tertangani dengan baik”
Hasil kontrol terbaru di bulan Desember lalu menunjukkan pertumbuhan tumor 1 cm. Apabila habis lebaran nanti ada perkembangan harus diangkat lagi, kemudian lanjut dengan gamma knife.
Ajunk akrab dengan tim dokter yang menangani nya sejak awal, dr Eka Julianta spesialis bedah syaraf otak bersama timnya. Dia mendengar semua percakapan dengan dokter, nampak dewasa menyikapinya dan bercanda dengan dokter. Namun Dian bercerita, begitu keluar ruang konsultasi, Ajunk akan menarik-narik baju Dian dan meminta Ibunya duduk.
Lalu..menangislah dia dengan kencang, “Gak mau dioperasi… Ajunk takut.”
Dian menenangkan,”Kalau Ajunk mau sembuh, harus kuat dan gak boleh takut.”
Ajunk langsung bilang,”Bener Bu kalau dioperasi Ajunk akan sembuh?”
Dan Dian pun mengiyakan mantap meski hati tersayat.
Setiap mengobrol dengan orang dan ada info mengenai pengobatan, Ajunk mendengar dan bertanya,”Bisa bikin sembuh gak? Kalau bisa, Ajunk mau…”Setiap Ajunk down, Dian akan selalu mengingatkan dan memberi semangat,”Yang penting sehat dan tetap semangat ya Nak.”
Perjuangan masih panjang…
Kini usia Ajunk 9 tahun, kelas 3 SD dengan tinggi badan 109 cm dan kaca matanya. Tetap ceria dan percaya diri. Meski sesekali bertanya pada ibunya,”Kapan aku tinggi?”
Dian menguatkan hatinya dengan senantiasa mensyukuri setiap kondisi, karena pasti lebih banyak yang lebih sulit di luar sana. Menikmati proses karena hasil akhir sudah ditentukan. Sebuah kepasrahan dalam segala ikhtiar yang dilakukannya.
Untuk Ajunk, Dian tidak berani bermimpi terlalu jauh dan indah. Karena bagi Dian, setiap hela nafas Ajunk sudah menjadi hal terindah baginya.
Update: Tulisan ini ditulis ulang dengan judul “Napas Terindah”, salah satu kisah di Buku Antologi Inspirasi Kamaksara “Jejak Cinta” terbit April 2017.
apakah ini pengalaman pribadi?
Iya mbak, pengalaman teman penulis. It’s real